Tren dan Perubahan Industri Perhotelan Indonesia di Era New Normal
Industri perhotelan kini sedang bertahan dalam badai pandemi Corona. Begini trennya dan selayang pandang cara beradaptasi mereka.
Berbagai survei di bawah ini diungkap dalam rilis resmi OYO, Senin (8/6/2020). Pertama, dari Mckinsey yang membahas soal sentimen konsumen Indonesia selama pandemi COVID-19. Mereka menemukan penurunan signifikan pada minat konsumen di Indonesia untuk melakukan traveling.
Minat responden untuk melakukan perjalanan domestik menurun sebanyak 80% sedang perjalanan internasional sebanyak 86%. Minat untuk menginap di hotel juga turun sebanyak 84%.
Sementara itu, survei dari Persatuan Hotel dan Restoran di Indonesia (PHRI) bersama Horwath HTL memprediksi pandemi akan mempengaruhi kinerja sektor perhotelan selama 4-6 bulan. Tingkat huniannya akan berkurang 25-50% year on year pada semester awal 2020.
Riset dari Deloitte yang bertajuk Hospitality Impact of COVID-19 merekomendasikan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pelaku industri dalam fase new normal. Langkah-langkah tersebut meliputi:
- Memperhatikan dampak terhadap okupansi dan tingkat pendapatan sembari membuat rencana mitigasi darurat
- Beradaptasi dan berinovasi secara berkala terhadap situasi yang terus berubah.
Perubahan industri perhotelan juga mulai terlihat dari tren pemesanan dalam beberapa bulan terakhir. Dari data internal OYO tren pemesanan didominasi oleh penginapan untuk jangka pendek-menengah dengan rata-rata durasi menginap 1-3 hari.
Kini, dalam satu bulan terakhir, terdapat lebih banyak pemesanan kamar yang dilakukan untuk jangka panjang, rata-rata durasi menginapnya 7-14 hari. Tren ini diperkirakan juga didukung adanya himbauan untuk melakukan isolasi mandiri setidaknya selama 14 hari, dan didominasi oleh mereka yang tidak dapat bekerja dari rumah, seperti para tenaga medis dan pekerja di sektor vital (perbankan dan logistik).
Beradaptasi pada perubahan semakin menjadi kunci bagi pelaku industri perhotelan saat ini. OYO berkomitmen untuk berorientasi pada strategi bisnis jangka panjang, dan perusahaan tak ingin adanya PHK.
“Fokus kami adalah memastikan sumber pendapatan terus optimal, baik dari sisi bisnis akomodasi maupun non akomodasi, sambil terus memastikan OYO tetap memberikan layanan terbaik bagi para pelanggan. Penyesuaian yang kami lakukan saat ini pun tetap mempertimbangkan skala prioritas bagi karyawan dan mitra kami, yaitu memastikan setiap karyawan kami tidak kehilangan pekerjaannya,” jelas Country Head Emerging Business OYO Indonesia Eko Bramantyo.
Dibawah kampanye #FightCovidwithOYO dan #OYOkuatlawancorona, OYO ingin melindungi mitra pemilik properti melewati krisis, meringankan beban para tenaga medis yang berada di garda depan penanganan COVID-19, membantu para wisatawan yang terpaksa terisolasi di sejumlah wilayah, serta membantu bagi masyarakat melakukan isolasi mandiri.
Mitra OYO akan dibantu melewati krisis dengan menerapkan standar operasional yang sesuai protokol kesehatan, serta rekomendasi strategi bisnis yang relevan. Hotel tetap diperbolehkan beroperasi membuat perusahan berkomitmen untuk memaksimalkan segala kesempatan yang ada.
OYO melihat beberapa perubahan mendasar dalam pola pelayanan industri perhotelan, yakni:
- Peran teknologi yang semakin krusial. Teknologi menciptakan standar operasi higienis, salah satunya melalui mekanisme pemesanan tanpa kontak fisik demi keselamatan dan keamanan pelanggan, dan OYO sudah melakukannya
- Perjalanan domestik diprediksi akan tumbuh. Guna meminimalisir risiko penularan, masyarakat akan cenderung menunda perjalanan yang tidak penting atau untuk menghemat pengeluaran karena tiket pesawat diprediksi akan mengalami kenaikan. Wisatawan akan pergi ke tempat terpencil di mana jarang terdapat wisatawan
- Sinyal baik bagi sektor hotel budget dan independen. Perilaku penghematan serta penerapan kebiasaan baru di fase new normal membuat wisatawan cenderung memilih melakukan staycation di hotel-hotel budget.
Sumber : https://travel.detik.com/travel-news/d-5046130/tren-dan-perubahan-industri-perhotelan-indonesia-di-era-new-normal